Senin, 18 Juni 2012

TUGU JOGJA Landmarknya Kota Gudeg


Setiap kota pasti memiliki hal yang paling dibanggakan di kotanya masing-masing. Nah seperti Tugu Jogja, Tugu Jogja ini merupakan landmarknya Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini bisa dilihat secara langsung, karena tepat berada di tengah-tengah perempatan jalan. Tugu pun bisa menjadi poros segala arah. Mungkin kamu sudah tahu dan pernah lihat bentuk tugu yang sekarang, tapi apakah tahu bentuk tugu yang dulu kayak apa. Lalu Tugu Jogja ini punya sejarah kayak apa sih. Jangan-jangan bagi kamu yang memang asli wong Jogja, cuma tahu tempat dan bentuknya itu kayak apa, tapi tidak tahu tentang sejarahnya. Nah, ini ada kilasan sejarah tentang Tugu Jogja masa lalu dan sekarang.

Tugu Jogja adalah salah satu bangunan peninggalan Sultan Hamengku Buwana I. Tugu Jogja yang hampir berusia 3 abad ini, memiliki makna yang dalam, sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta. Pembangunan Tugu tersebut dilakukan untuk memperingati rasa kebersamaan raja dengan rakyat yang bersatu melawan Belanda yang pada saat itu Pangeran Mangkubumi, sehingga Pangeran Mangkubumi mendapatkan tanah Mataram.

Kira-kira Tugu Jogja ini didirikan setahun setelah berdirinya Kraton Yogyakarta. Pada saat awal berdirinya Tugu Jogja ini secara tegas menggambarkan tentang Manunggaling Kawula Gusti semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Bisa dilihat, semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu, tergambar dengan jelas pada bangunan tugu. Tiangnya berbentuk gilig atau silinder, dan puncaknya berbentuk golong atau bulat, sehingga disebut Tugu Golong Gilig.

Secara rinci, saat awal bangunan Tugu Jogja ini dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Dan tinggi dari bangunan tugu itu sendiri pada awalnya mencapai 25 meter.

Semuanya berubah ketika gempa yang mengguncang Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867, membuat bangunan tugu saat itu runtuh kira-kira sepertiganya dari bangunan awal. Bisa dibilang saat bangunan tugu runtuh itu merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin lagi pada bangunan tugu.

Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889 saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu dan diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889. Tugu dibangun dengan bentuk persegi dengan tiap sisinya dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi tersebut. Bagian puncak tugu tak lagi bulat tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Tinggi bangunannya pun sekitar 10 meter lebih rendah dari bangunan awal. Sejak saat itu bangunan tugu ini disebut juga sebagai De Witte Paal atau Tugu Putih.

Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun melihat perjuangan rakyat dan raja Yogyakarta yang berlangsung bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil. Dan hingga kini bentuk tugu yang ada merupakan hasil dari renovasi pemerintah Belanda.


Saat ini Kraton Yogyakarta sedang mengkaji kemungkinan mengembalikan Tugu Jogja ke bentuk asalnya. Bentuk Tugu yang sekarang ini sudah direkayasa oleh pihak penjajah Belanda saat itu/ akibatnya makna filosofinya sudah berubah.


Dan ternyata tugu juga menjadi salah satu poros imajiner oleh pihak Kraton Yogyakarta. Jika ditarik garis lurus dari selatan ke utara atau sebaliknya, maka akan ditemukan garis lurus antara Laut selatan, Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi. Jadi itulah Tugu Jogja yang punya segudang sejarah didalamnya dan begitu penting peranannya di kota Jogja ini.

Nah, bila anda ingin memandang Tugu Jogja sepuasnya sambil mengenang makna filosofinya, di sana tersedia bangku yang menghadap ke arah tugu untuk anda nikmati bersama Tugu Jogja. Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau bahkan mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu sebagai ungkapan rasa sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu hari nanti akan mengunjungi kota Yogyakarta lagi.

Salam blangkon...


0 komentar :

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Danu Arianto
Hai... Aku memanggil diriku sendiri dengan sebutan DNA. Asalnya sih dari namaku sendiri (D)a(N)u (A)rianto. Walaupun terkesan maksa, tapi lumayan banyak yang inget sama ID-ku ini :D jadi panggil aku DNA... Namaku Danu, kalau kata mamahku. Nama Danu itu diambil dari nama salah satu tokoh peran sandiwara yang dulu masih lewat Radio, namanya Kaman Danu. Mamahku dulu suka sama cerita drama tersebut. Maka pelampiasannya itu lari ke namaku, Danu. :)) Mengapa aku memakai kata Blangkon? Ya mungkin itu jadi pertanyaan tersendiri. Di sini aku juga menjabarkan dikit mengapa aku memilih kata itu. Blangkon itu kan sebenarnya penutup kepala seperti topi, tapi versinya orang-orang Jawa. Nah, berhubungan dengan orang Jawa. Saat aku membuat blog ini, aku sedang berada di DI Yogyakarta. Kan blangkon itu sendiri menjadi ciri khas Jogja. Bentuknya pun unik dan elegan bila dipakai. Oleh karenanya aku memilih nama Blangkon. Blangkon itu penutup kepala pria khas Jawa dan DNA itu asal namaku. Jadi, Blangkon DNA itu cerita ala Danu yang menjadi ciri khas tentang kesehariannya yang unik. :)
Lihat profil lengkapku








Terima Kasih - Thank You - Matur Nuwun