Senin, 02 September 2013

Perjodohan



Tiga hari sebelum aku nulis tulisan ini, aku mendapat kabar kalau teman ku (Danang nama samaran) sudah putus dengan pacarnya (Sarden nama samaran). Aku kaget dengar kabar itu. Karena aku merasa mereka berdua itu sudah saling mengisi. Aku mendapat kabar kalau penyebab mereka putus itu karena hubungan jarak jauh dan jarang komunikasi. Aku pikir masa sih cuma karena hal kayak gitu mereka putus. Tapi hal lain aku temukan setelah aku mendapatkan infonya langsung dari Sarden.

Aku dikit demi sedikit mendengarkan cerita dari Sarden via telepon. Aku yakin dan percaya kalau mereka putus bukan karena masalah jarak dan komunikasi, namun ada hal lain yang bikin mereka harus berpisah. Aku kaget sebenarnya mendengar penyebabnya itu, Sarden ternyata dilamar oleh teman kerjanya yang sekaligus anak dari teman Bapaknya tanpa sepengatahuan dia, aku lebih menyebutnya dengan perjodohan. Setuju?

Dan bukan perjodohan namanya kalau tidak ada unsur pemaksaan oleh orang tua. Dan itu pun dialami oleh Sarden, ia dipaksa untuk menerima lamarannya itu dan 6 bulan lagi dari bulan tulisan ini ia akan menikah. Aku disaat itu nggak bisa ngasih solusi, aku hanya bisa bilang ini hanya kalian yang bisa menyelesaikannya. Jujur saat aku mendengarkan cerita Sarden, mata ku berkaca-kaca. Yang bikin aku berkaca-kaca dan menyentuh hati adalah ketika cinta itu disandingkan oleh asal usul dan harta, ketika Danang pemula dalam dunia kerja disandingkan dengan pegawai profesional. Semua itu akan menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi sebagian orang tua bahkan hampir semua seperti itu.

Bingung juga ya kalau kita dapat situasi seperti itu, pasti bingung antara pilih orang tua dan cinta. Walaupun cinta itu sendiri bisa tumbuh kapan saja saat kita menjalani perjodohan itu. Orang tua selalu ingin memberikan hal terbaik untuk anaknya, mereka tidak ingin anaknya mengalami kegagalan di masa depan. Namun apakah cara terbaik itu dengan cara perjodohan? Aku tidak tahu. Sebagai anak pun kita takut akan kualat doa orang tua, maka dari itu kita sebagai anak hanya bisa diam dan mengikutinya. Namun apakah harus selalu mengiyakan segala perintah orang tua? Lalu bagaimana dengan perasaan kita yang menjalaninya?

 
Salam blangkon...


0 komentar :

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Danu Arianto
Hai... Aku memanggil diriku sendiri dengan sebutan DNA. Asalnya sih dari namaku sendiri (D)a(N)u (A)rianto. Walaupun terkesan maksa, tapi lumayan banyak yang inget sama ID-ku ini :D jadi panggil aku DNA... Namaku Danu, kalau kata mamahku. Nama Danu itu diambil dari nama salah satu tokoh peran sandiwara yang dulu masih lewat Radio, namanya Kaman Danu. Mamahku dulu suka sama cerita drama tersebut. Maka pelampiasannya itu lari ke namaku, Danu. :)) Mengapa aku memakai kata Blangkon? Ya mungkin itu jadi pertanyaan tersendiri. Di sini aku juga menjabarkan dikit mengapa aku memilih kata itu. Blangkon itu kan sebenarnya penutup kepala seperti topi, tapi versinya orang-orang Jawa. Nah, berhubungan dengan orang Jawa. Saat aku membuat blog ini, aku sedang berada di DI Yogyakarta. Kan blangkon itu sendiri menjadi ciri khas Jogja. Bentuknya pun unik dan elegan bila dipakai. Oleh karenanya aku memilih nama Blangkon. Blangkon itu penutup kepala pria khas Jawa dan DNA itu asal namaku. Jadi, Blangkon DNA itu cerita ala Danu yang menjadi ciri khas tentang kesehariannya yang unik. :)
Lihat profil lengkapku








Terima Kasih - Thank You - Matur Nuwun